- Home
- Ulasan
- Ulasan Praktisi
- Sudah Tepatkah Pembebasan Narapidana?
Sudah Tepatkah Pembebasan Narapidana?
Remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat merupakan insentif hukum yang diberikan Pemerintah kepada narapidana melalui PP No. 99 Tahun 2012
Franditya Utomo Sabtu, 11 April 2020 15:22 WIB

Santer perbincangan publik tentang pro-kontra pembebasan narapidana dari lembaga pemasyarakatan (Lapas). Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yassona Laoly, berencana membebaskan 35 ribu narapidana umum dari sekitar 270 ribu narapidana umum di Indonesia. Selain napi umum terdapat napi tindak pidana korupsi sebanyak 4000 orang yang menghuni Lapas umum.
Dasar pemikiran dari pembebasan napi adalah alasan kesehatan yaitu upaya pemerintah melawan Covid-19, serta alasan kemanusiaan. Hal ini cukup masuk akal, mengingat kondisi ruangan atau sel tahanan di Lapas yang sudah over kapasitas, tidak steril, sehingga rentan dengan penyebaran Covid-19. Namun, di sisi lain masyarakat mulai mengaitkan peristiwa kriminal di beberapa daerah dengan pembebasan napi.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang akan membebaskan napi sebagaimana anjuran lembaga-lembaga internasional PBB untuk mengurangi dampak penyebaran Covid-19, Amerika Serikat dan Brazil juga telah menerapkan hal yang sama. Di tengah upaya melaksanakan himbauan pemerintah melakukan pembatasan sosial berskala besar, masyarakat merasa was-was dengan napi yang dibebaskan menjadi beban sosial, kuatir bakal mengulangi kejahatan lagi.
Sebenarnya siapakah napi yang dibebaskan pemerintah? Apakah maling ayam sampai koruptor ikut dibebaskan? Salah satu instrumen hukum yang digunakan pemerintah untuk memberikan insentif hukum terhadap napi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP ini merupakan perubahan kedua dari PP sebelumnya, yaitu PP Nomor 32 Tahun 1999.
Insentif apa saja yang diberikan oleh PP No. 99 Tahun 2012? PP ini berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu pada 12 November 2012. Dengan demikian skema pemberian insentif hukum kepada napi sudah berjalan sedari 8-9 tahun lalu. Napi tindak pidana biasa dan anak pidana mendapatkan insentif hukum. Selain itu napi kejahatan luar biasa antara lain tindak pidana terorisme, narkotika dan prekusor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya untuk mendapatkan insentif hukum harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam PP No. 99 Tahun 2012.
Insentif hukum apa saja yang diberikan? Remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat merupakan insentif hukum yang diberikan Pemerintah kepada napi melalui PP No. 99 Tahun 2012. Remisi adalah pengurangan masa pidana dengan ketentuan pemberian kepada napi dan anak pidana telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Napi kejahatan biasa dan anak pidana mendapatkan remisi dengan persyaratan berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin selama enam bulan terhitung tanggal pemberian remisi dan telah mengikuti program pembinaan dengan predikat baik, serta telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan.
Napi kejahatan luar biasa mendapatkan remisi dengan sejumlah persyaratan antara lain bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator), membayar lunas denda dan uang pengganti untuk napi korupsi, serta telah mengikuti program deradikalisasi untuk napi terorisme. Sementara untuk napi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dengan pidana penjara paling singkat lima tahun mendapatkan remisi.
Insentif hukum kedua adalah asimilasi yaitu proses pembinaan napi dan anak pidana yang dilaksanakan dengan membaurkan napi dan anak pidana dalam kehidupan masyarakat. Napi dan anak pidana mendapatkan asimilasi setelah memenuhi persyaratan berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan dengan baik, dan telah menjalani satu per dua masa pidana.
Napi kejahatan luar biasa mendapatkan asimilasi setelah memenuhi persyaratan berkelakuan baik, mengikuti program pembinaan dengan baik, dan telah menjalani dua per tiga masa pidana. Asimilasi yang diberikan menurut PP No. 99 Tahun 2012 bentuknya adalah kerja sosial pada lembaga sosial untuk napi kejahatan luar biasa.
Insentif hukum ketiga adalah pembebasan bersyarat. Pengertian mengenai pembebasan bersyarat ada pada penjelasan Pasal 12 huruf k UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yaitu bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari sembilan bulan.
Napi dan anak pidana mendapatkan pembebasan bersyarat setelah memenuhi persyaratan telah menjalani masa pidana paling singkat dua per tiga dengan ketentuan dua per tiga masa pidana tersebut paling sedikit sembilan bulan, berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat sembilan bulan terakhir terhitung sebelum tanggal dua per tiga masa pidana, telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat, dan masyarakat dapat meneruma program pembinaan narapidana.
Napi kejahatan luar biasa mendapatkan pembebasan bersyarat setelah memenuhi persyaratan sama dengan napi kejahatan biasa ditambah dengan sejumlah persyaratan antara lain bersedia bekerja sama dengan penegak hukum membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, telah menjalani sekurangnya dua per tiga masa pidana dengan ketentuan dua per tiga masa pidana tersebut paling sedikit sembilan bulan, telah menjalani asimilasi paling sedikit satu per dua dari sisa masa pidana yang wajib dijalani, dan telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana.
Restorative Justice
Pemberian remisi ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Sebaliknya, pemberian asimilasi dan pembebasan bersyarat dapat dicabut apabila napi melanggar persyaratan yang telah diatur dalam PP No. 99 Tahun 2012. Pemberian asimilasi dapat dicabut dengan Keputusan Menteri dan pembebasan bersyarat dapat dicabut dengan Peraturan Menteri.
Pelaksanaan PP No. 99 Tahun 2012 bukan berarti serta merta membebaskan napi dari masa pidana yang telah dijalani kemudian pemerintah lepas tangan, namun merupakan bentuk tanggungjawab Pemerintah dalam mengimplementasikan konsep restorative justice. Sistem pemidanaan/sistem hukum pidana, lembaga peradilan, dan aparat penegak hukum adalah satu kesatuan criminal justice system yang menjadi tulang punggung hukum pidana dalam mewujudkan keadilan sosial di dalam masyarakat.
Selama ini sistem pemidanaan di Indonesia masih berparadigma lama. Menggunakan sebuah sistem pemidanaan yang berorientasi pada kesalahan moral pelaku, sehingga satu-satunya cara untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi pelaku adalah memberikan hukuman sesuai dengan jenis kesalahannya. Paradigma lama ini bercita-cita bahwa melalui penghukuman nantinya mampu mengurangi serta mencegah terjadinya kejahatan di dalam masyarakat.
Cita-cita tujuan hukum tersebut sangat bagus, meski pada kenyataannya jumlah napi di lembaga pemasyarakatan terus bertambah, bahkan melampaui kapasitas yang disediakan negara. Sistem hukum yang demikian jelas membutuhkan penyegaran, bahkan jalan keluar demi terwujudnya penegakan hukum yang berkeadilan. Paradigma lama atau konsep tujuan hukum memiliki kelemahan dalam melihat sumber kejahatan dan perbuatan jahat berasal dari individu, faktor biologis, bukan dari konteks yang lebih luas misalnya aspek ekonomi, sosial dan budaya.
Misalnya, maling ayam dalam paradigma lama hanya dilihat dan ditimbang kesalahannya dari perbuatan memindah barang tanpa hak atau moral ansich, bukan faktor kemiskinan, pendidikan, dan kultural. Tak heran jika terdapat putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman kepada seorang nenek atas perbuatan mencuri ranting di atas pekarangan milik orang lain. Dibutuhkan cara pandang yang mampu melihat peristiwa pidana bukan hanya disusun oleh pelaku yang memenuhi unsur pidana, namun juga pihak korban, keluarga pelaku, serta masyarakat dan penegak hukum turut diposisikan dan dilibatkan membentuk keadilan. Konsep restorative justice berpandangan demikian.
Insentif hukum yang diberikan Pemerintah kepada napi melalui PP No. 99 Tahun 2012 nampaknya terlihat sebagai upaya pelibatan masyarakat dalam sistem pemidanaan ketimbang memberikan beban kepada masyarakat. Seorang napi setelah usai menjalani masa hukuman pada akhirnya akan kembali dan berinteraksi di dalam kehidupan masyarakat. Pemberian insentif hukum berupa remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat sangat penting untuk melihat seberapa jauh penerimaan masyarakat dan seberapa besar kontribusi napi dalam kehidupan sosialnya.
Pemberian insentif hukum bagi napi kejahatan luar biasa seperti korupsi, terorisme, dan narkotika memiliki arti penting untuk mengungkap mata rantai kejahatan, mengantisipasi, dan mendeteksi sedari dini. Memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk menerima mereka merupakan langkah progresif, bahkan “langkah ekstrim†meminjam istilah Menteri Hukum dan HAM, meski pada satu sisi menimbulkan polemik karena insentif hukum diberikan pada masa krisis, pandemi Covid-19. Negara dan pemerintah harus mampu memberikan rasa aman kepada warga masyarakatnya.
Kepolisian sebagai salah satu aparat penegak hukum yang aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat mendapatkan tugas yang cukup berat. Pada satu sisi mengawal implementasi PP No. 99 Tahun 2012 memastikan napi mampu bersinergi dengan masyarakat, dan sisi yang lain menegakkan protokol pembatasan sosial berskala besar mengantisipasi penyebaran Covid-19. Pembebasan napi dan lesunya ekonomi akibat pembatasan sosial berskala besar berpotensi memicu konflik horizontal. Ikatan sosial yang kuat, solidaritas, dan gotong royong dibutuhkan dalam situasi saat ini untuk menghindari segregasi sosial yang rentan dimanfaatkan untuk tujuan politis tertentu. []
Tulisan Ini Opini Pribadi Penulis, Bukan Mewakili Pendapat Redaksi
Penulis : Franditya Utomo,Advokat, domisili di Jakarta.