Rabu, 04 Okt 2023

Akademisi: PKPU 20/2018 Wujud Pluralisme Hukum Pemilu, Negara Harus Memihak Pencegahan Korupsi

HLR Selasa, 03 Juli 2018 19:07 WIB
Larasonline.com

Kolase Photo: Armansyah, S.H., M.H., (kiri), Dr. Kusbianto, S.H., M.H., (kanan)

Jakarta.

Komisi Pemilihan Umum menetapkan Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. PKPU ini ditandatangani Ketua KPU Arief Budiman tanggal 30 Juni 2018. Dalam pernyataan persnya KPU menyatakan PKPU 20/2018 langsung diberlakukan meskipun tidak diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Peraturan KPU 20/2018 Belum Mengikat Secara Hukum Karena Belum Diundangkan

"PKPU 20/2018 tidak sah dan belum dapat dilaksanakan oleh KPU-KPU daerah karena belum diundangkan", demikian diungkapkan Armansyah, S.H., M.H., pengajar hukum tata negara dari Universitas Sumatera Utara menanggapi pertanyaan Larasonline.com.

Menurut Armansyah, PKPU 20/2018 belum mempunyai kekuatan hukum mengikat karena prosedurnya belum terpenuhi yaitu pengundangan. "Peraturan perundang-undangan (PKPU) tidak sama dengan putusan pengadilan yang mengikat secara hukum begitu diucapkan. Putusan pengadilan tidak perlu diundangkan sedangkan peraturan perundang-undangan wajib diundangkan baru mengikat secara hukum" jelasnya lebih lanjut

"KPU semestinya taat hukum. Kalau (KPU) tidak taat hukum maka akan terjadi kekacauan. Peraturan KPU harus diundangkan sebelum diberlakukan. Disisi yang lain, Kementerian Hukum tidak boleh berdiam diri, harus proaktif menyelesaikan permasalahan ini.", tegas Armansyah.

Ditambahkan Armansyah, Peraturan KPU 20/2018 sudah bisa diajukan hak uji materil kepada Mahkamah Agung. Alasannya karena PKPU ini sudah diberlakukan padahal belum diundangkan. Pihak-pihak yang berkepentingan sudah dapat mengajukan upaya hukum pengujian ini.

Peraturan KPU 20/2018 Wujud Pluralisme Hukum Pemilu Yang Harus Dikelola

Dihubungi terpisah, Dr. Kusbianto, S.H., M.H., Rektor Universitas Dharmawangsa Medan, melihat Pasal 7 ayat (1) huruf h Peraturan KPU 20/2018 yang dinyatakan bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf (g) UU 7/2017 tentang Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015 tanggal 09 Juli 2015, sebenarnya hanyalah perwujudan dari pluralisme hukum pemilu. Pluralisme hukum hal yang biasa terjadi dalam suatu negara. Pluralisme hukum ini (hanya perlu dikelola sehingga) jangan sampai menjadi sengketa diantara lembaga-lembaga negara.



Menurut Kusbianto, (bila Kementerian Hukum bertahan dengan sikap sebelumnya, kedepannya) bakalan terjadi sengketa hukum (disebabkan) karena adanya pluralisme hukum dalam mengatur sistem demokrasi. Kusbianto meminta Menteri Hukum dan HAM untuk segera mengundangkan Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 untuk mencegah terjadinya konflik hukum diantara aparatur negara. "KPU selaku lembaga negara berwenang membuat peraturan, (keberlakuan peraturan KPU ini) tinggal diserahkan kepada rakyat mau mengikutinya atau tidak. Menteri Hukum dan HAM jangan terlalu jauh melakukan pengujian materil dari Peraturan KPU. Menteri (Hukum) harus mendukung KPU. Kalau masyarakat keberatan silahkan menggugat, jangan (Peraturan KPU 20/2018 ini) menjadi konflik antara aparatur negara" ditambahkan mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan tersebut.

"Dalam teori penyelesaian sengketa, ada pluralisme hukum yang kuat dan ada pluralisme hukum yang lemah. (Dalam kasus ini, kebijakan tidak mengundangkan PKPU 20/2018 dari) Menteri Hukum karena mendapat dukungan dari Presiden akan menjadi pluralisme hukum yang kuat. Tentunya yang pasti yang akan berlaku (adalah) hukum yang kuat (Pasal 240 (1) huruf g UU 7/2017). Pihak-pihak yang tidak setuju atau dirugikan dengan Peraturan KPU (para mantan terpidana korupsi, narkotika dan kekerasan seksual anak) akan merasa terlindungi atau mendapat backup dengan (kebijakan) aparatur negara yang tidak setuju (Peraturan KPU 20/2018)", jelas Kusbianto.

"(dilain pihak) KPU mendasarkan PKPU 20/218 pada Tap MPR pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Indonesia saat ini tinggi tingkat kejahatan korupsi, peredaran narkoba, kejahatan seksual terhadap anak. Hal ini perlu dikongkritkan dalam proses pemilu. (rakyat) Memilih wakil-wakil rakyat yang bersih dari korupsi, narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Menteri Hukum tidak perlu merasa keberatan terhadap Peraturan KPU ini. Kalau ada yang keberatan bukan (datangnya dari) Menteri Hukum. Silahkan masyarakat yang keberatan terhadap Peraturan KPU ini mengujinya ke Mahkamah Agung. Aparatur negara yang lain sebaiknya jangan melibatkan diri" urai Kusbianto lebih lanjut.

Pluralisme hukum pemilu, menurut Kusbianto serupa dengan pluralisme hukum hak atas tanah. Ditengah masyarakat ada diakui hak-hak adat, surat-surat ganti rugi tanah adat. Namun begitu ada peraturan negara, hal ini (hak-hak adat) dikesampingkan. Dalam proses demokrasi saat ini (dengan terbitnya Peraturan KPU 20/2018) juga sama keadaannya terjadi pluralisme hukum, namun negara memaksakan untuk menggunakan produk hukumnya (Pasal 240 (1) huruf g UU 7/2017). Sengketa (diantara KPU dan Kementerian Hukum) ini akan membuat masyarakat bingung atau kecewa.

"Hukum bila selalu dibawa ke aspek formil akan mengakibatkan melemahnya prinsip atau rasa keadilan dari hukum. Ini pemahaman hukum yang (cenderung) kebarat-baratan. Sementara di masyarakat kita berkembang kebiasaan seperti di Inggris. Hukum yang adil adalah hukum yang bisa melindungi rakyat yang menderita akibat dari perbuatan korupsi, bukan hanya melihat dari rasa keadilan mantan terpidana korupsi yang jumlahnya kecil. Kemakmuran rakyat harus dipercepat. Hukum yang bermanfaat bagi rakyat yang lemah adalah hukum yang adil. Rasa keadilan rakyat yang harus lebih diutamakan daripada formalitas hukum. Meskipun ada sedikit bertentangan dengan formal hukum, sebaiknya diundangkan saja", ditegaskan Kusbianto.

Dijelaskan Kusbianto, "Teori pluralisme hukum ini dikembangkan John Griffith (Jerman). Dulunya di Eropa juga begitu. Raja (di Eropa saat itu) begitu kuat sehingga rakyat selalu tertindas. Munculnya demokrasi kerakyatan di Eropa awalnya dari adanya pluralisme hukum. Ada hukum yang kuat dan ada hukum yang lemah. Biasanya hukum-hukum yang lemah ini adalah hukum-hukum yang otonom, berlaku hanya di suatu desa, berlaku hanya di suatu komunitas adat. Desa atau komunitas adat ini, dalam konteks negara yang (berwenang) menerbitkan undang-undang (dan mengenyampingkan hukum-hukum yang otonom tadi)."



Masih menurut Kusbianto, "Sewaktu Indonesia dijajah Belanda juga begitu. Penjajah melahirkan hukum yang melemahkan hukum-hukum yang berkembang di masyarakat lokal. Belanda mengambil keuntungan dari sini. Saat ini juga begitu. Penguasa selalu melahirkan hukum yang mencaplok hukum-hukum yang berkembang di masyarakat. (kebalikannya bila dibandingkan dengan) Negara-negara sistem hukum common law tidak terlalu mengedepankan formalitas. Kebiasaan-kebiasaan (yang hidup dimasyarakat dan dirasa adil) diback up oleh konvensi, dan Raja melindunginya."


"Bila Menteri Hukum sudah mengundangkan Peraturan KPU 20/2018. Pada akhirnya, Mahkamah Agung yang akan menguji pluralisme hukum pemilu ini. Ditahap ini akan diuji Mahkamah Agung keberpihakannya pada hukum yang mana dan masyarakat akan menilainya" tutup Kusbianto.

Sebelum ditetapkan, Peraturan KPU 20/2018 ini sudah menuai polemik karena Kementerian Hukum menolak mengundangkannya. Kementerian Hukum beralasan PKPU ini berisi norma yang bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-undang 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor No. 42/PUU-XIII/2015 tanggal 09 Juli 2015.

Norma hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XII/2015 berbeda dari norma hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009. Putusan MK Nomor 4/PUU-VI/2009 juga berbeda normanya dari Putusan Nomor 14-17/PUU-VII/2007 tanggal 11 Desember 2017.


Peraturan Pilihan Buat Anda:

Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

T#gs ArmansyahKusbiantoLarangan Koruptor CalegLarangan Napi CalegPeraturan KPU 20 Tahun 2018
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments