- Home
- Ulasan
- Ulasan Akademisi
- Ahli Hukum Pidana: Polisi Sudah Bisa Menetapkan Tersangka Kapal Tenggelam di Dan
Ahli Hukum Pidana: Polisi Sudah Bisa Menetapkan Tersangka Kapal Tenggelam di Danau Toba
HLR Kamis, 21 Juni 2018 22:11 WIB

Jakarta.
Peristiwa tenggelamnya kapal motor pengangkut orang di Danau Toba hari Senin tanggal 18 Juni 2018 sekira pukul 17.30 Wib, menyisakan duka yang sangat mendalam. Saat persitiwa itu terjadi penumpang yang berhasil diselamatkan hanya 18 orang, dan yang ditemukan meninggal dunia baru satu orang. Sementara penumpang yang masih belum diketahui keberadaannya atau hilang diperkirakan berjumlah 166 orang. Simpang siurnya jumlah korban yang hilang disebabkan karena ketiadaan manifest penumpang kapal yang tenggelam.
Kapal motor yang tenggelam diperkirakan bermuatan lebih kurang 185 orang, ditambah muatan barang diantaranya sepeda motor dan barang-barang lainnya. Menurut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam siaran persnya (20/06/2018) Kapal Motor Sinar Bangun yang tenggelam muatan semestinya hanya 43 (empat puluh tiga) orang.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian turun langsung meninjau ke lokasi kejadian dan bertemu korban pada (21/06/2018). Menurut informasi yang dipantau melalui pemberitaan di berbagai media, sampai saat ini polisi hanya berfokus mencari korban yang hilang dan belum mengumumkan tersangka atas tenggelamnya kapal di Danau Toba yang mengakibatkan korban jiwa ratusan orang ini.
Bagaimana ahli hukum pidana menganalisa peristiwa tenggelamnya kapal motor di Danau Toba yang sudah mengakibatkan adanya korban jiwa ini.
Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A., pengajar Hukum Pidana dari Universitas Binus Jakarta menyatakan, Polisi sudah bisa memulai penyelidikan saat ini karena telah timbul akibat yang dilarang dalam hukum pidana yaitu tenggelamnya kapal dan matinya ratusan orang korban. Penyidikan sendiri maknanya menemukan tersangka yang didukung oleh alat bukti. Alat bukti dalam kasus (ini) sesuai dengan Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sudah ada yaitu saksi yang selamat dan surat kematian atau visum (dari korban meninggal dunia yang sudah ditemukan).
"Penyidik sudah bisa menetapkan tersangka dalam kasus ini. (Penetapan) tersangkanya tentunya menggunakan didasarkan pada norma yang dipergunakan yaitu Undang-undang Pelayaran dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Tahap awal yang jadi tersangka adalah nahkoda dan pemilik kapal. Selanjutnya bisa dikembangkan sesuai doktrin kausalitas dan bukti-bukti yang ditemukan dalam pemeriksaan tersangka", tegas Sarjana Hukum lulusan Universitas Sumatera Utara tersebut.
Ditambahkan lulusan Magister dari Universitas Kebangsaan Malaysia tersebut, "Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang ancamannya lima tahun bisa diterapkan kepada perseorangan nahkoda kapal. Selain itu ada juga beberapa ketentuan pidana dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang bisa dikenakan terhadap nahkoda. Diantaranya Pasal 286 dan Pasal 330. Sedangkan terhadap pimpinan otoritas pelayarannya bisa dikenakan Pasal 336 UU 17/2008 tentang Pelayaran".
Bagaimana menilai pertanggung jawaban pidana dalam peristiwa tenggelamnya kapal motor di Danau Toba ini?
Menurut Dr. Sofian, sebelum menguraikan tentang pertanggungjawaban pidananya, maka perlu diketahui lebih dahulu faktor-faktor atau sebab-sebab yang menimbulkan tenggelamnya kapal ini yang menewaskan ratusan penumpang. Sebab-sebab yang dimaksud bisa berupa sebab faktual (factual cause) dan bisa juga sebab hukum (legal cause). Jika mengacu pada analisa pemberitaan maka sebab-sebab tenggelamnya KM. SINAR BANGUN yang kemudian menimbulkan kematian adalah : cuaca, kelebihan kapasitas, kondisi kapal yang tidak laik, minimnya alat-alat keselamatan, dan ketiadaan pengawasan dari otoritas yang setempat.
"(Dari) banyaknya faktor-faktor yang menjadi sebab, maka dalam konteks hukum pidana, (hanya) akan dicari sebab-sebab hukum (legal cause) saja yaitu perbuatan dan/atau pembiaran (tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan tenggelamnya/meninggalnya orang di dalam kapal). Dari beberapa faktor itu maka dapat dianalisis beberapa sebab yang merupakan perbuatan atau pembiaran (yaitu) : (1) kelebihan kapasitas (2) kapal yang tidak laik operasi (3) tidak adanya alat alat keselamatan yang memadai (4) tidak adanya pengawasan dari otoritas setempat" jelas Sofyan.
Sofian yang menyelesaikan pendidikan doktoral dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menguraikan 4 faktor tersebut akan diuji dengan ajaran kausalitas. Untuk mengujinya maka akan diajukan pertanyaan hipotesis untuk semua faktor-faktor tersebut, yaitu:
(1) Apakah kelebihan kapasitas adalah termasuk perbuatan melawan hukum ? Jika jawabnya "Iya" maka, aktor-aktor yang menyebabkan terjadinya kelebihan kapasitas dapat diminta pertanggungjawaban pidana termasuk pihak-pihak yang membiarkan terjadinya kelebihan kapasitas dan tidak berusaha mencegahnya padahal yang bersangkutan punya otoritas dan kewenangan untuk mencegah terjadinya kelebihan kepasitas.
(2) Apakah kapal yang tidak laik dan tetap dioperasikan merupakan perbuatan melawan hukum ? Jika ya, maka aktor-aktor yang mengoperasikan kapal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban pidana termasuk pihak yang seharusnya dapat mencegahnya.
(3) Apakah ketiadaan alat keselamatan yang memadai dalam sebuah kapal termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum ? Jika iya, maka aktor-aktor yang tidak menyediakan alat keselamatan dapat diminta pertanggungjawaban pidana
(4) Terakhir adalah apakah tidak melakukan pengawasan termasuk dalam kategori melawan hukum ? jika jawabnya juga iya, otoritas setempat yang tidak melakukan pengawasan juga dapat diminta pertanggungjawaban pidana.
"Dengan alat bantu ajaran kausalitas maka selanjutnya penegak hukum (polisi dan jaksa) menemukan norma hukumnya dan mencari alat buktinya untuk memperkuat hipotesis yang disebutkan di atas. Doktrin atau ajaran kausalitas ini akan membantu meneropong situasi yang gelap/redup menjadi lebih terang" ditambahkan Sofian.
Hukum pidana dikatakannya, tidak saja (hanya) berfungsi memberikan sanksi pidana bagi para pelaku tindak pidana karena ketercelaan perbuatannya, namun juga untuk mencegah agar perbuatan serupa dimasa depan dapat dihindari. "Dengan demikian, menemukan pertanggungwaban pidana pelaku sangat penting untuk mencegah tragedi serupa tidak terjadi lagi dan sekaligus memperbaiki sistem/moda transportasi di Danau Toba di masa depan" urainya lebih lanjut.
"Saya mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas tragedi yang menimpa sahabat, handai taulan, dan kerabat akibat tenggelamnya KM. SINAR BANGUN di Dana Toba beberapa waktu yang lalu" ujarnya menutup pernyataannya.
Berikut ini diuraikan beberapa ketentuan pidana yang berkaitan dengan pelayaran dan kapal tenggelam yang mengakibatkan korban jiwa yaitu:
Pasal 359 KUHAP yang berbunyi: "Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun"
Pasal 286 ayat (1) dan ayat (3) UU Pelayaran: "Nahkoda angkutan sungai dan danau yang melayarkan kapalnya ke laut tanpa izin dari Syahbandar sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah)". Bila mengakibatkan kematian seseorang, menurut ayat (3) Pasal ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah).
Pasal 302 ayat (1) dan ayat (3) UU Pelayaran: "Nahkoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Bila mengakibatkan kematian seseorang, menurut ayat (3) Pasal ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah).
Pasal 303 ayat (1) dan ayat (3) UU Pelayaran: "Setiap orang yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Bila mengakibatkan kematian seseorang, menurut ayat (3) Pasal ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah).
Pasal 309 UU Pelayaran: "Nahkoda yang sedang berlayar dan mengetahui adanya cuaca buruk yang membahayakan keselamatan berlayar namun tidak menyebarluaskannya kepada pihak lain dan/atau instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 336 UU Pelayaran: "Setiap pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana menggunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Menurut ayat (2) Pasal ini, selain pidana dalam ayat (1), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya.
Silahkan Klik disini untuk melihat selengkapnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.