Ajukan Upaya Administratif Keberatan
Evi Novida Ginting Minta Presiden Gunakan Kewenangan Yang Diatribusi Pasal 76 UU 30/2014
Betty Maria Jumat, 03 April 2020 13:15 WIB

Jakarta (Larasonline.com)
Melalui Surat Upaya Adminisratif yang diajukan tanggal 01 April 2020, Evi Novida Ginting meminta agar Presiden menggunakan kewenangan yang diberikan Pasal 76 Undang-undang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan meninjau kembali Keputusan Presiden pemberhentian dirinya sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022.
Dalam siaran pers tertulis, Evi Novida mengutip Pasal 76 UU 30/2014 yang mengatur: "Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berwenang menyelesaikan keberatan atas Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan yang diajukan oleh warga masyarakat".
"Saya diwajibkan oleh Pasal 75 dan 77 Undang-undang 30/2014 untuk menempuh upaya administratif keberatan atas terbitnya Keputusan Presiden Nomor 34/P.Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020 yang memberhentikan saya secara tidak hormat. Bila Presiden menerima dan mengabulkan upaya administratif ini saya tidak perlu mengajukan Gugatan Tata Usaha Negara", ujarnya.
Menurut Evi, Keputusan Presiden No. 34/P.Tahun 2020 merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang termasuk dalam ruang lingkup pengaturan Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang harus dilakukan upaya administratif terlebih dahulu sebelum mengajukan pembatalan melalui Gugatan Tata Usaha Negara.
Menurut Pasal 1 angka 16 UU Administrasi Pemerintahan “Upaya Administratif adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Tindakan yang merugikan".
Tata cara pengajuan upaya administratif keberatan oleh warga negara dan bagaimana Pejabat/Badan Pemerintahan menindaklanjutinya, menurut Evi Novida diatur dalam Pasal 75 ayat (1), 77 ayat (1), (2), dan (4) Undang-undang No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Pasal 75 ayat (1) mengatur: “Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan".
Pasal 77 ayat (1) mengatur: "Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling lama 21(dua puluh satu) hari kerja sejak diumumkannyaKeputusan tersebut oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan".
Pasal 77 ayat (2) mengatur: "Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan"
Sementara Pasal 77 ayat (4) mengatur: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan keberatan paling lama 10 (sepuluh) hari kerjaâ€.
"UU Administrasi Pemerintahan mengatur kewajiban warga negara menggunakan Upaya Administratif agar Pejabat/Badan Pemerintahan penerbit Keputusan memiliki ruang dan kesempatan menggunakan kewenangannya untuk meninjau Keputusan yang cacat hukum, tanpa melalui proses peradilan", ditambahkan Evi Novida.
Keputusan Presiden No.34/P tahun 2020 tertanggal 23 Maret 2020, merupakan tindaklanjut atas Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) No.317-PKE-DKPP/X/2019 tertanggal 18 Maret 2020 khususnya amar No 3 dan No 7.
Menurut Evi Novida, Putusan DKPP terlihat mengandung cacat hukum yaitu:
Pertama , DKPP tetap melanjutkan persidangan dan mengambil keputusan atas aduan dugaan pelanggaran kode etik, padahal pengadu sudah mencabut aduannya.
Dalam hal ini DKPP bertentangan dengan Pasal 155 ayat 2 Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang pemilu yang mengatur “DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, Anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota.
Serta bertentangan dengan Pasal 159 hurup (a) dan (b ) “DKPP bertugas (a) Menerima aduan dan/atau laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu dan (b) melakukan penyelidikan dan verifikasi serta pemeriksaan atas aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.
Kedua, DKPP belum mendengar pembelaan dari Evi Novida Ginting Manik selaku teradu VII, sebelum mengambil keputusan berupa sanksi pemberhentian secara tetap dari anggota Komisi Pemilihan Umum. Hal ini bertentangan dengan Pasal 38 ayat (2) UU 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur: “Dalam pemberhentian sebagaimana dimaksud apda ayat (1), Anggota KPU harus diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan DKPPâ€.
Ketiga, dalam memutus perkara No.317-PKE-DKPP/X/2019 tertanggal 18 Maret 2020 DKPP tidak melaksanakan pasal 36 ayat (2) peraturan DKPP No 2 tahun 2019 yang mewajibkan Rapat Pleno pengambilan putusan dihadiri oleh 5 orang anggota DKPP RI. Kenyataannya Rapat Pleno Putusan No 317-PKE-DKPP/X/2019 hanya dihadiri oleh 4 orang anggota DKPP.
Evi Novida Ginting Manik dalam Siaran Persnya menyebutkan bermohon empat hal kepada Presiden Republik Indonesia yaitu:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan upaya administratif keberatan
2. Mencabut Keputusan Presiden No.34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020.
3. Merehabilitasi nama baik seperti sedia kala.
4. Menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengembalikan Jabatan sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum periode 2017" 2022.
-
Ulasan
I D.G.Palguna: Pelajaran Yang (Mestinya) Tak Perlu
-
Ulasan
Evi Novida Ginting Manik: Menggugat Demi 17 Tahun Pengabdian di Korps Penyelenggara Pemilu
-
Berita
Evi Novida Ginting Minta Presiden Gunakan Kewenangan Yang Diatribusi Pasal 76 UU 30/2014
-
Ulasan
Penyelesaian Sengketa Hasil Seleksi CPNS, Tersedia Upaya Administratif
-
Ulasan
Akademisi: PKPU 20/2018 Wujud Pluralisme Hukum Pemilu, Negara Harus Memihak Pencegahan Korupsi
-
Berita
Peraturan KPU Caleg Bukan Napi Korupsi Buntu, Solusinya Menurut Akademisi Begini